First Trip of Acupressure Team

Perjalanan ini dimulai dari berakhirnya pelatihan akupresur kami selama satu bulan di bulan Januari yang lalu. Lantas, karena tak ingin kehilangan momen sukacita telah menyelesaikan pelatihan, seorang teman mengajak untuk bakti sosial di Pekalongan supaya makin banyak orang yang kami layani, makin terasah pula keterampilan kami.

Jadilah selama satu minggu kami mempersiapkan keberangkatan kami. Kami mengumpulkan kabar tentang kondisi di Pekalongan. Kami mencari tempat pengungsian yang menampung jumlah pengungsi tidak terlalu banyak karena kami menyadari kondisi kami bahwa dengan jumlah dan jam terbang kami yang sedikit, kami belum mampu melayani ratusan orang dalam waktu singkat. Setelah informasi terkumpul, kami putuskan untuk melayani saudara – saudara yang mengungsi di sebuah Gereja Katolik di Kota Pekalongan.

Tempat sudah kami tentukan. Sasaran target sudah kami putuskan, yaitu anak – anak dan lansia. Kami sudah mendapat kontak koordinator Gereja tersebut. Kemudian tugas sudah dibagi – bagi oleh ketua kami. 

 

Kemudian masalah pertama muncul. Koordinator di Gereja tersebut, yang juga adalah Pastur di Gereja itu, mengatakan sudah tidak ada lagi pengungsi di Gereja. Sudah pada pulang. Namun demikian, karena berbagai alasan, yang salah satunya adalah tidak ingin bekerja dengan pihak pemerintah karena bakal jadi ribet, maka kami tetap memutuskan untuk bekerjasama dengan pihak Gereja. Kami akan melayani di salah satu wilayah Gereja tersebut. Problem solved.

 

Lantas masalah kedua, yaitu tidak mendapat pinjaman mobil. Karena dana yang kami miliki sangat sedikit, maka kami berusaha untuk mencari teman yang sekiranya bersedia meminjamkan mobilnya. Namun, sampai H-1 keberangkatan kami, kami tidak mendapat pinjaman. Alternatif lain yaitu naik kereta dan sewa, namun ketua kami ragu karena lagi – lagi keterbatasan dana. Puji Tuhan, akhirnya senior kami mendapat harga sewa mobil yang murah dari langganannya. Another problem solved.

Pada hari keberangkatan, dana yang terkumpul pas sekali untuk menutup kebutuhan akomodasi kami. Mobil yang kami sewa terlambat datang berjam – jam karena mengobrol! Alasan yang bagus sekali ya?!? Antusiasme yang tadinya tinggi ketika sampai di tempat keberangkatan, mulai menurun. Alhamdulillah karena keterlambatan itu, kami mendapatkan tangki bensin yang terisi (walau hanya setengah namun cukup untuk menempuh perjalanan Semarang – Pekalongan dan keliling – keliling di Pekalongan). 

 

Dalam perjalanan menuju ke Pekalongan pada hari Jumat malam itu saya baru mengerti mengapa teman – teman saya ragu untuk meminjamkan mobil. Jalanan rusak parah. Lubang dimana – mana. Kami tidak bisa memilih jalan, sehingga mobil kami melaju sangat pelan. Perjalanan yang normalnya ditempuh sekitar 2 jam, kini kami tempuh sekitar 4 jam (tanpa macet). Kami tiba di Pekalongan sekitar pukul 01.00.

Siangnya, Sabtu, 8 Februari 2014, kami menemui Pastur di Gereja Katolik St. Petrus yang ada di Jalan Belimbing. Dari Gereja tersebut, Pastur itu mengantarkan kami ke wilayah pelayanannya, yaitu lingkungan Marta di daerah Panjang Indah. Sebagian daerah tersebut masih tergenang banjir, sedangkan daerah rumah yang menjadi tempat pelayanan kami sudah mulai surut, hanya tersisa genangan – genangan kecil. 

Kami mulai melayani warga di daerah tersebut sekitar pukul 10.30, dan berakhir sekitar pukul 13.30. Melihat kondisi di tempat tersebut, lantas kami tak jadi membatasi target sasaran kami. Kami melayani siapa saja yang datang, tua muda, laki – laki perempuan, dan kami tak membatasi hanya melayani warga Katolik saja.

Puluhan warga datang. Sebagian besar yang datang adalah ibu – ibu dengan keluhan paling banyak adalah tensi tinggi, pusing, leher kaku, dan deg – degan ketika malam tiba dan petir menyambar serta hujan turun dengan derasnya. Beruntung tim akupresur kami kedatangan seorang teman hipnoterapis. Jadilah warga – warga yang datang, setelah mendapatkan relaksasi dengan akupresur, mereka pun mendapatkan relaksasi melalui hipnoterapi.

Selama proses terapi, warga yang sebagian besar ibu – ibu itu, teriak – teriak kesakitan :p , saling ejek, dan tertawa – tawa. Kebayang kan ya, hebohnya kayak mana? hihihihihi…

Adalah sebuah kebahagian yang tak terbeli ketika melihat rona bahagia dan pengakuan saudara – saudara itu bahwa badannya terasa lebih baik setelah kami terapi. 

Setelah kami melayani, kami disuguhi makan siang. Puji Tuhan, anggaran kami untuk makan siang tak terpakai.

Selama perjalanan pulang ke Semarang, kami tak henti – hentinya bersyukur, bahwa niat kecil kami untuk melayani diberkati Tuhan. Dengan dana yang minim, Tuhan menggerakkan umat – umat-Nya untuk menolong kami menjalankan keinginan kami. Senior kami mengatakan, “Ini adalah perjalanan iman.”

Dengan iman, kami mampu memberi sedikit keterampilan yang kami miliki untuk sedikit mengurangi beban saudara – saudara yang terkena banjir di Pekalongan. 

 

“Kami tak bisa banyak memberi, tapi kami memberi apa yang kami punya dengan sepenuh hati.”

Image

basa – basi

Aku masih disini berkutat dengan praktek mayor yang menjemukan. Masih juga kekurangan subjek padahal akhir bulan harus kelar. Entahlah apa aku sanggup menyelesaikan ini 😦

Di saat – saat terdesak, setiap orang menunjukkan reaksi yang berbeda – beda. Aku memilih tenang, sedang partnerku memilih pergi dariku. Yah, mungkin aku memang tidak sepintar partner barunya yang (katanya) dalam satu kali terapi bisa membuat seorang anak menunjukkan perubahan yang sangat signifikan. Ya sudahlah, toh aku bisa sendiri, meski rasanya ingin marah, sedih dan bingung.

 

Aku benci sendiri, aku benci semarang, aku benci keadaanku saat ini, tapi semua ini harus diakhiri. Tentang hasil, aku tak ingin banyak berekspektasi, aku hanya ingin ini berakhir.

Di saat – saat seperti ini, ketika berbulan – bulan berkutat dengan hal yang sama – jemu, bingung, kalut, ragu, tanpa kepastian – kata semangat menjadi sebuah basa – basi yang teramat basi. Kami saling mengucapkan ‘semangat’ ketika bertemu teman sekelas lainnya, namun kami sama – sama tahu bahwa kata ‘semangat’ itu basa – basi belaka.

 

Yah, begitulah. Entah harus bagaimana lagi ketika semangat tak lagi berarti semangat, namun basa basi yang teramat basi.

 

Imajinasi pagi tadi

Pagi yang sejuk, suasana yang hening karena sebagian besar penghuni kos masih tidur, kaki yang terendam dalam air hangat, sarapan pagi dan sebuah buku adalah surgaku pagi tadi.

Tadi pagi aku mengambil buku berjudul Orang Miskin DIlarang Sekolah, karangan Eko Prasetyo

Image

Buku itu telah lama ada di tumpukan buku – buku bacaanku. Dulu pernah aku membaca buku ini, tapi baru beberapa lembar aku sudah tertidur dan tak pernah membacanya lagi. Pagi tadi aku mengambil buku ini, kubaca ulang dari halaman pertama dan berhenti di halaman 27 karena harus melakukan aktivitas lain.

Dalam lembar demi lembar buku itu, aku miris membaca hasil – hasil penelitian dari berbagai kelompok di endonesa terkait pendidikan. Sangat miris ketika membaca sektor pendidikan pun dijadikan lahan basah para koruptor. Inilah endonesa raya saat ini.

Tapi lantas apa? Menyerah saja dengan pernyataan “inilah endonesa raya” ?

Pesimis sekali, pikirku, tapi aku pun tak tahu harus bagaimana. Maka mulailah aku mencipta imaji pagi tadi. Sekedar mengingatkan diri untuk sedikit lebih optimis meski hanya dalam tataran imajinasi.

Aku berimajinasi endonesa ini ditutup sementara dari dunia luar, apalah itu istilahnya, seperti China (ato Jepang) jaman dulu kalau tidak salah (maafkan pengetahuan Sejarahku yg teramat buruk). Lalu dilakukan penataan ulang. Semua sektor bekerja sama, berbagi tugas. Siapa bertugas sebagai apa dan yang lain membantu, seperti sebuah tim dalam imajiku.

Tidak boleh ada korupsi. Ketahuan korupsi, langsung hukum mati. Kejam? Biarlah. Aku percaya para koruptor itu memiliki andil dalam memiskinkan rakyat. Miskin di dunia itu lebih kejam dari kematian, menurutku. Kalau saja orang jatuh miskin lantas mati, ia tak perlu tersiksa dengan hal – hal duniawi. Ia bebas. Nah, tapi kan nggak gitu juga tho? Orang miskin di dunia ini susah, (seolah) nggak boleh sekolah, nggak boleh sakit, nggak boleh miskin (mbulet :D). Yah, intinya gitu, hukum mati koruptor.

Dalam imajiku itu, pendidikan adalah hal utama yang harus dibenahi. Siapapun bisa mendapatkan haknya untuk sekolah. Sekolah dalam imajiku memiliki kantin yang bersih, rapi, memiliki menu makanan – makanan sehat dan bergizi, dan semua siswa makan siang di sekolah (yah, ini untuk tingkat SD sampai SMA, kira – kira. Biar nggak perlu bawa bekal ke sekolah :D). Lalu, universitas dibagi menjadi 2, universitas negeri dan swasta. Universitas Negeri ditujukan untuk mencetak para ilmuwan, yang penguasaan teorinya kuat, dan Universitas Swasta bertugas mencetak praktisi, yang penguasaan lapangannya kuat. Lalu, tidak semua universitas memiliki semua jurusan. Jadi jika ingin kuliah jurusan teknik harus ke daerah A, jurusan sosial daerah B, dll.

Begitulah imajiku pagi tadi di kamar mandi selepas menikmati surga di pagi hari. Pagi di sekitarku begitu hening, namun tidak di kepalaku 😀

sekian.

 

*gambar dari mbah gugle*

Terbuka (kembali)

Entah berapa lama tepatnya blog ini tak kujamah. Kukira aku tak bisa lagi membukanya karena berbulan – bulan yang lalu tiba – tiba saja aku tak bisa membuka wordpress.com. Aku menyerah setelah beberapa kali mencoba dan tetap saja tak terbuka. Hari ini, tetiba keinginan untuk membuka blog ini membuahkan hasil yang menyenangkan.

T E R B U K A!!!

Jadi mari bercerita.

.

.

Ini tentang Semarang, tentang perkuliahan dan lingkungan sekitarnya.

Semarang…

Aku tak suka kota ini. Cuaca disini tak cukup bersahabat denganku. Kota dengan pancaran panas matahari tanpa diskon ini membuatku tak nyaman. Pagiku selalu disambut peluh. Jangan tanya bagaimana siang hari disini. Ruang Pascasarjana di sudut perpusatakaan seringkali menjadi tempat pelarian yang sempurna. Keheningan dan buaian kesejukan ruangan ini mencipta surga kecil dibawah kuasa mentari nan pongah. Malam pun masih menyisakan panas.

“Panas di kota ini, nampaknya”, seorang dosen berkata, “menjadikan orang – orang begitu ganas di jalan raya. Tidak ada yang mau mengalah dan klakson dibunyikan dengan tidak sabar”.

Well, panas kota ini memang menjadikan berkendara menjadi tidak nyaman #mbulet :p , banyak sekali pengendara yang tidak sabaran. Itu menyebalkan. Belum lagi berkendara seorang diri pada malam hari di kota ini bukanlah pilihan yang bijak, mengingat seorang kerabat mengatakan tindak kejahatan di jalan raya sedang meningkat di kota ini, terutama daerah pinggir kota. hhhhhhhhh……

Aku suka menyusuri malam seorang diri untuk sekedar menyapa bulan di kejauhan, menikmati lampu – lampu yang mulai menyoroti kegelapan, namun kini tak bisa lagi. 

 

Kuliah…

Tahun ini, aku mulai memasuki masa Praktek, baik jurusan minor, maupun mayor. Praktek Jurusan minor berjalan biasa saja. Cukup mulus dibandingkan dengan praktek jurusan mayor. Mungkin ini karena waktu praktek minor jauh lebih singkat dibadingkan praktek mayor. Praktek minor hanya 3 minggu (2 minggu di kelas, 1 minggu di lapangan), sedangkan praktek mayor, 6 bulan (lebih lama dibandingkan jurusan2 lain yang rata2 selesai dalam waktu 4 bulan).

Praktek Minor sudah berakhir beberapa bulan yang lalu, tak banyak yang bisa aku ceritakan. Pengalaman selama praktek minor membuatku berpikir bahwa ada masa ketika sekumpulan orang asing bisa tiba – tiba menjadi seperti keluarga, sedang keluarga bisa menjadi sekumpulan orang asing. Terkadang, justru orang terdekat yang menjadikan kita asing di dunia ini. “Membuang” anggota keluarga dalam keterasingan yang seolah tak berpenghujung hingga harapan pun menjadi kata yang asing dalam hidup.

 

Praktek mayor lebih menyebalkan karena area gelap yang harus ditelusuri lebih luas. Dengan minimal 2 tempat praktek, tanpa arahan yang jelas, itu memuakkan. Praktek di satu tempat selesai, lalu apa? Siapa dosen pembimbing berikutnya? Tidak jelas! Kami harus kemana? Terserah! hhhhhhhh…….

Sekarang aku sedang berdiri di tengah – tengah kegelapan, bertanya pun tiada guna. Aku sedang memilih untuk berhenti saat ini, tepat pada saat aku tak tahu lagi harus berbuat apa selain mengikuti arahan – arahan yang samar – samar.

 

Persahabatan dan percintaan…

Dalam kondisi yang menurutku sangat tidak jelas ini, teman – teman seperjuangan menjadi tempat terempuk untuk menjatuhkan diri dalam katarsis. Teman – teman baru yang aneh – aneh datang dan pergi. Beberapa kali aku mencari bentuk pertemanan yang pas hingga beberapa kali aku membuang yang tak seirama. Jahat? Itu pilihan. Toh, setiap orang bebas menentukan hendak berteman dengan siapa. Lagipula jahat atau tidak itu tergantung sudut pandangnya.

Diantara perjalanan bersama teman – teman seperjuangan, tak terasa perjalananku dengan seseorang disana telah menginjak usia kedua. Ada formasi yang berubah dan bertumbuh dalam kami. Semakin banyak “the ups and downs” yang kami lalui. Perjalanan yang berawal dari kenaifan ini entah bagaimana akan berakhir, yang pasti kami sama – sama menikmati kehadiran satu sama lain. Saling belajar untuk ada bagi yang lain dan menyeimbangkan. Dua tahun rasanya berlalu begitu cepat hingga kami tak menyadari betapa ikatan ini menjadi semakin erat. 

 

Di kota ini, aku seringkali menemui sosokku dalam ketidakstabilan. Di waktu – waktu itu, tak jarang aku mempertanyakan diriku sendiri. Apakah aku mampu menyelesaikan masa praktek ini? Apakah aku mampu menyelesaikan pendidikan magister profesi ini? Siapakah aku? Apa bentuk panggilanku?

Di waktu – waktu itu pula, kenangan akan masa lalu menyeruak. Orang – orang di masa lalu datang menawarkan kesenangan semu. Aku memilih untuk berada di sini, saat ini, melihat ke depan, peluang – peluang dan kebahagiaan.

 

sekian.

tentang HIV/AIDS

Beberapa hari yang lalu, teman saya bercerita tentang perkuliahannya. Tema yang dibahas dalam perkuliahannya adalah praktek prostistusi di dua kota di Indonesia. Dosennya bercerita bagaimana dulu ketika s1 beliau melakukan penelitian di sebuah area prostitusi di pinggiran pantai. Di tempat tersebut disediakan kamar – kamar dengan harga sewa yang murah. Kalo nggak salah inget, dengan Rp 20.000,00 saja, seorang “klien” sudah bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Pada malam Jumat Kliwon, tempat tersebut akan sangat ramai pengunjung, layaknya pasar malam, dan pengunjung bisa “menikmati suguhan” tanpa menyewa kamar, tergantung kesepakatan “penjual” dan “pembeli”. Informasi yang lebih miris lagi, ada sebanyak 2 bus perempuan – perempuan yang didatangkan dari kota lain ke tempat itu. Mereka di-”drop” jam 9 p.m lalu subuh dijemput lagi.

Haduh, ini bahasanya nggak konsisten banget ya. Bingung saya harus pake istilah apa yang pas.

Tempat kedua yang diceritakan dosen tersebut adalah area di sekitar sebuah stasiun. Ibu – ibu yang menjajakan makanan pada pagi/siang hari, menjadi penjaja dirinya sendiri ketika malam hari. Klien – kliennya adalah tukang – tukang becak di area tersebut. Harga yang ditawarkan adalah Rp 5.000,00. Ngenes banget saya dengernya waktu tau semurah itu harga yang ditawarkan. Di tempat kedua ini, ketika dosen tersebut mengkampanyekan bahaya HIV/AIDS, jawaban yang diterima kira – kira begini, “kalau saya kena AIDS, itu sudah resiko saya”

See, how desperate they are!

Dengan harga yang ditawarkan, untuk beli kondom aja kurang.

Hal – hal kayak gini ini pemerintah tau nggak sih?
Pertanyaan retoris sih ya. Saya yakin pemerintah pasti tau tentang hal ini, tapi ya sekarang mau gimana? Kalau mau ditiadakan, emang pemerintah bisa memberi jaminan tersedianya lapangan pekerjaan bagi mereka? Kalo nggak ditiadakan, persebaran HIV/AIDS terus berkembang.

Hhhhhhhhhhhh……

dilematis! terlalu kompleks! tapi ya bisa sih sebenernya kalau pemerintah berjalan beriringan dengan para ahli di berbagai bidang. Dalam kasus ini ya Dokter, Psikolog, Wirausahawan, dll.

 

yah, sudahlah. Paling nggak, yang bisa saya lakukan adalah wanti – wanti ke teman – teman yang mau melakukan hubungan seksual untuk selalu pake kondom.